PERISTIWA semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi.
“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit.
“Siapa namamu?”
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya.
“Namaku Mahesa Jenar.”
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat bertindak setenang itu menghadapi Gagak Ijo, apalagi Baureksa.
“Bagus...” dengus Gagak Ijo. “Nama yang bagus. Mengenal namamu adalah perlu sekali bagiku. Kalau terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau bernama Mahesa Jenar.”
Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap yang sombong sekali. Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk tidak segera bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan dan bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi kali ini ia merasa aneh, Mahesa Jenar tenang bukan kepalang. Dan ini sangat menjengkelkannya.
“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa? Apa yang harus kau katakan, sekarang katakanlah.”
“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga membentak keras.
“Bicaralah!" Lalu suaranya ditahan perlahan-lahan. “Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu.”
Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap Gagak Ijo yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan untuk cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan yang membosankan itu, dengan membuat Gagak Ijo marah.
“Baiklah aku berkata, bahwa rumahku adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari sama sekali tidak akan menculik gadis-gadis. Aku datang kemari karena aku ingin menculik kau untuk menakuti gadis-gadis.”
Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan main. Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan akhirnya beberapa orang menjadi hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya kuat-kuat, kecuali demang tua itu yang tampak tersenyum-senyum.
Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang. Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak. Selama hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai sedemikian, apalagi di hadapan Demang dan Baureksa. Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia ingin menyobek mulut Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan gerak yang cepat ia meloncat dan kedua tangannya menerkam wajah Mahesa Jenar.
Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang menyaksikan menahan nafas sambil berdebar-debar.
Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan itu dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk Gagak Ijo. Tetapi Mahesa Jenar tahu, kalau dengan demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung Gagak Ijo dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan keseimbangan, segera jatuh tertelungkup mencium tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena pertarungan itu, mula-mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang asing itu diremas oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan kenyataan itu, menjadi sangat terkejut dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan yang mencium tanah. Banyak diantara mereka tidak dapat melihat apa yang sudah terjadi.
Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar tambah berhati-hati, sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo adalah diluar kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang memuncak. Sehingga dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan memperbaiki kesalahannya. Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya kurang diperhitungkan lebih dahulu. Ia baru sadar ketika hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar kemudian seluruh mukanya. Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti Gagak Ijo dengan bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Hatinya menjadi seperti terbakar dan matanya merah menyala-nyala.
Seluruh tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan.
Tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak berani menyerang dengan membabi buta. Karena itu, ketika ia mulai menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan kecepatan yang tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Tetapi dengan cepat pula serangan ini dapat dihindari, dan sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa Jenar telah membalas menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Archive
-
▼
2011
(10)
-
▼
Februari
(10)
- NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 010
- NAGASASRA dan SABUK INTEN 009
- NAGASASRA dan SABUK INTEN 008
- NAGASASRA dan SABUK INTEN 007
- NAGASASRA dan SABUK INTEN 006
- NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 005
- NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 004
- NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 003
- NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 002
- SALATIGA TEMPO DOELOE
-
▼
Februari
(10)
Mengenai Saya
- radityo wisnu wibowo
- Indonesia
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar